TIMES PALU, BOJONEGORO – Ada sebuah pepatah lama yang sering dikutip dalam buku-buku tentang kekuasaan: “Don’t shoot the messenger.” Artinya, jangan marah pada pembawa kabar, seburuk apa pun kabar itu.
Sayangnya, di dunia nyata, sejarah politik sering menulis kisah sebaliknya dari Kaisar Romawi yang menghukum utusan perang yang membawa kabar kekalahan, sampai raja-raja Jawa yang konon punya lapisan abdi dalem khusus untuk menyiapkan kabar buruk agar terdengar manis.
Kabar terakhir dari tanah air juga memperlihatkan kecenderungan serupa. Tim pers istana mencabut kartu identitas seorang jurnalis karena dianggap menyampaikan berita yang tak sesuai selera.
Konteksnya cukup panas: kasus keracunan makanan bergizi gratis (MBG) yang seharusnya menjadi program andalan, tapi malah menyisakan masalah kesehatan. Alih-alih membuka ruang dialog, istana seperti menutup telinga seakan berita buruk adalah noda yang harus dihapus, bukan sinyal yang harus didengar.
Sejarah jurnalisme selalu bersinggungan dengan kuasa. Dalam buku klasik Walter Lippmann, Public Opinion (1922), jurnalis digambarkan sebagai “penerjemah realitas” yang menyaring fakta menjadi kabar. Tapi kuasa politik sering berharap penerjemah itu bekerja seperti humas gratis: menyiarkan hanya yang manis-manis, menutupi yang getir.
Di Indonesia, hubungan ini naik-turun. Dari era Orde Lama dengan kontrol ketat media, Orde Baru dengan SIUPP sebagai “tombak sensor”, hingga era reformasi yang lebih bebas tapi tetap penuh tekanan. Jurnalis selalu berdiri di garis api: ketika berita enak dipuji, ketika berita pahit dituduh provokatif.
Maka, pencabutan ID jurnalis oleh tim pers istana hari ini bukanlah peristiwa sepele. Itu cermin dari pola lama yang masih berulang: kuasa tak suka dipelototi.
Bayangkan sebuah ruang besar bernama istana. Dindingnya tebal, pintunya dijaga, dan di dalamnya ada lingkaran orang-orang yang kerjanya mengiyakan. Inilah yang disebut sindrom “Yes Man.”
Samuel Huntington dalam Political Order in Changing Societies (1968) mengingatkan: kekuasaan yang sehat lahir dari kritik, oposisi, dan mekanisme koreksi. Tanpa itu, pemimpin hanya akan mendengar gema suaranya sendiri.
Berita buruk yang seharusnya menjadi alarm justru dibungkam, diganti dengan laporan indah meski di luar sana rakyat menjerit karena perut sakit usai makan MBG.
Apakah pemimpin jadi lebih hebat jika tak mendengar kabar buruk? Justru sebaliknya. Dalam dunia manajemen modern, kabar buruk itu emas. Ada istilah bad news is good data.
Dari situ bisa diketahui kelemahan sistem, cacat distribusi, atau kesalahan perencanaan. Menutup kabar buruk sama saja memutus suplai oksigen bagi pengambilan keputusan.
Kasus MBG adalah contoh paling gamblang. Program yang dirancang mulia memberi gizi pada anak-anak justru berubah jadi bumerang karena soal teknis: distribusi, pengawasan, atau kualitas makanan.
Jika media melaporkan adanya keracunan, itu bukan sekadar kritik, melainkan feedback loop. Tapi ketika kabar buruk dibungkam, risiko justru membesar.
Jürgen Habermas dalam The Structural Transformation of the Public Sphere (1962) menekankan pentingnya ruang publik di mana warga bisa berdiskusi kritis tanpa takut ditekan kuasa.
Pers adalah motor utama ruang publik itu. Jika istana menutup akses jurnalis, sama saja istana menutup jendela: udara mungkin terasa hangat dan nyaman di dalam, tapi perlahan akan pengap karena kehilangan sirkulasi kritik dari luar.
Mengapa istana takut pada kabar buruk? Mungkin ada trauma lama, mungkin juga ada kalkulasi politik jangka pendek: citra harus selalu positif, jangan sampai ada noda. Tapi ketakutan seperti ini justru memperlihatkan rapuhnya kepercayaan diri.
Bandingkan dengan pemimpin yang berani menghadapi kritik. Winston Churchill, misalnya, pernah berkata, “Criticism may not be agreeable, but it is necessary. It fulfills the same function as pain in the human body.” Kritik adalah rasa sakit yang menyelamatkan tubuh dari kerusakan lebih parah.
Di era digital, menutup kabar buruk juga nyaris mustahil. Publik punya kamera di genggamannya, punya ruang siaran di media sosial. Pencabutan ID jurnalis di istana justru jadi berita buruk kedua, memperluas kecurigaan bahwa pemerintah lebih sibuk menjaga pencitraan ketimbang menyelesaikan persoalan substantif.
Apa yang mestinya dilakukan? Pertama, istana harus sadar bahwa pers bukan musuh, melainkan mitra. Fungsi kontrol sosial dari media justru membantu negara memperbaiki diri.
Kedua, penting membangun budaya transparansi. Bukan berarti semua harus diumbar, tapi pemerintah perlu punya mekanisme komunikasi krisis yang sehat.
Ketika ada kasus keracunan MBG, misalnya, istana bisa cepat merespons: menyelidiki, memberi data, menindak pihak lalai, lalu memperbaiki sistem. Publik akan lebih menghargai sikap terbuka ketimbang sikap defensif.
Ketiga, perlunya literasi media baik bagi pejabat maupun masyarakat. Pejabat harus paham bahwa berita buruk tak identik dengan serangan, sementara masyarakat juga perlu kritis agar tak mudah terseret hoaks.
Istana tanpa berita buruk hanyalah istana dalam ilusi. Rakyat tetap hidup dengan realita: nasi kotak MBG yang basi, harga sembako yang naik, atau kebijakan yang membelit. Media, dengan segala kekurangannya, adalah jembatan agar suara-suara itu sampai ke telinga pemimpin.
Jika istana terus menutup pintu bagi berita buruk, maka ia sedang membangun tembok tinggi yang suatu hari bisa runtuh oleh tekanan dari luar. Sebab, seperti kata pepatah Jawa, “Sing ditutupi iku ora mesti ilang, mung nyimpen bom wektu.” Yang ditutup-tutupi tak akan hilang, hanya menyimpan bom waktu.
***
*) Oleh : Choirul Anam, Wakil Ketua Bidang Ekonomi PC GP Ansor Bojonegoro.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Istana Tanpa Berita Buruk
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |